Hukum Mengupah Panitia Qurban dengan Daging Qurban dan Menjual Kulit Hewan Qurban

Ibadah qurban adalah manifestasi ketaatan dan kepedulian sosial yang agung. Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali muncul pertanyaan mengenai tata kelola daging dan bagian-bagian hewan qurban lainnya, terutama terkait dengan upah bagi panitia dan penjualan kulit. Memahami hukum syariat dalam hal ini sangat penting agar ibadah qurban kita sempurna dan tidak mengurangi pahalanya.
1. Hukum Mengupah Panitia Qurban dengan Daging Qurban atau Bagian Hewan Qurban Lainnya
Prinsip Dasar: Daging qurban, dan seluruh bagian dari hewan qurban yang disembelih atas nama Allah, adalah harta yang disedekahkan dan dihadiahkan. Oleh karena itu, ia tidak boleh diperlakukan sebagai imbalan atau upah atas suatu pekerjaan.
Hukum Syariat: Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi, sepakat bahwa tidak diperbolehkan memberikan upah kepada jagal atau panitia qurban dari bagian apa pun dari hewan qurban, baik itu daging, kulit, kepala, atau jeroan.
Dalil dan Argumentasi:
- Hadits Ali bin Abi Thalib RA: Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Janganlah engkau berikan sesuatu pun darinya (unta qurban) kepada tukang jagal sebagai upah." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Logika Syariat: Qurban adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Daging dan bagian lain dari hewan qurban adalah sedekah murni. Jika dijadikan upah, maka nilai ibadah sedekah tersebut akan bercampur dengan transaksi jual beli atau jasa, yang mengurangi kesempurnaan qurban itu sendiri. Pekerjaan menyembelih, memotong, dan mendistribusikan adalah jasa yang harus dibayar secara terpisah.
Bagaimana Seharusnya?
- Upah Jasa dari Pekurban atau Dana Lain: Upah bagi jagal, panitia penyembelih, atau tim pemotong harus dibayarkan dari harta pribadi pekurban (di luar dana qurban), atau dari kas panitia qurban yang berasal dari infak, sedekah, atau iuran sukarela lainnya (bukan dari hasil penjualan bagian qurban).
- Pemberian sebagai Hadiah/Sedekah: Jika pekurban ingin memberikan daging qurban kepada jagal atau panitia, hal itu boleh dilakukan sebagai hadiah atau sedekah, bukan sebagai upah. Artinya, jagal atau panitia tersebut berhak menerima daging qurban sebagaimana fakir miskin, kerabat, atau tetangga lainnya. Namun, pemberian ini harus dilakukan setelah upah jasanya dibayarkan secara terpisah.
Implikasi jika Melanggar: Jika upah jagal diambil dari bagian qurban, maka ibadah qurban tersebut berkurang pahalanya, bahkan bisa menjadi tidak sempurna. Sebagian ulama menganggapnya makruh tahrim (mendekati haram) atau bahkan merusak pahala qurban.
2. Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban
Prinsip Dasar: Kulit hewan qurban adalah bagian yang disedekahkan atau dihadiahkan, sama seperti dagingnya.
Hukum Syariat: Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali, mengharamkan penjualan kulit hewan qurban.
Dalil dan Argumentasi:
- Hadits Rasulullah SAW: "Barang siapa yang menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya." (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albani). Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa menjual kulit qurban membatalkan pahala qurban atau bahkan menghilangkan keabsahan qurban itu sendiri.
- Fungsi Sedekah: Sama seperti daging, kulit qurban adalah bagian dari ibadah sedekah yang dipersembahkan kepada Allah. Menjualnya berarti mengubah status sedekah menjadi transaksi komersial, yang tidak sesuai dengan tujuan qurban.
Bagaimana Seharusnya dengan Kulit Hewan Qurban? Ada beberapa pilihan yang diperbolehkan untuk memanfaatkan kulit hewan qurban:
- Disedekahkan: Ini adalah pilihan terbaik dan paling utama. Kulit dapat diberikan kepada fakir miskin, kerabat, atau tetangga yang membutuhkan.
- Dihibahkan (Diberikan sebagai Hadiah): Kulit dapat diberikan kepada siapa saja sebagai hadiah.
- Digunakan Sendiri: Pekurban boleh memanfaatkan kulit qurban untuk keperluan pribadi, seperti membuat alas shalat, tas, atau barang kerajinan lainnya, asalkan tidak dijual.
- Dikonversi Menjadi Uang untuk Sedekah (dengan Syarat): Jika panitia qurban mengelola kulit hewan qurban, mereka boleh menjualnya dengan syarat hasil penjualannya seluruhnya dibelikan sesuatu yang bermanfaat (misalnya sembako, buku, dll.) untuk disedekahkan kepada fakir miskin, dan bukan untuk kepentingan panitia atau pribadi. Ini dilakukan sebagai upaya mempermudah distribusi manfaat kulit, bukan untuk mencari keuntungan. Namun, cara ini harus dilakukan dengan niat yang benar dan transparansi penuh. Cara ini juga masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, sehingga opsi yang paling aman adalah langsung menyedekahkan kulit tersebut.
Implikasi jika Melanggar: Menjual kulit hewan qurban secara langsung akan mengurangi bahkan membatalkan pahala qurban. Hadits di atas menunjukkan kerasnya larangan ini.
Kesimpulan
Dalam rangka menjaga kemurnian dan kesempurnaan ibadah qurban, sangat penting bagi pekurban dan panitia qurban untuk mematuhi ketentuan syariat terkait pengelolaan daging dan bagian-bagian hewan qurban lainnya. Mengupah panitia dengan bagian qurban dan menjual kulit hewan qurban adalah dua praktik yang dilarang karena bertentangan dengan esensi qurban sebagai sedekah dan ibadah yang murni kepada Allah SWT. Dengan menjalankan ibadah qurban sesuai tuntunan, semoga Allah menerima amal kita dan melimpahkan keberkahan-Nya.
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin